Manusia sebagai animal educandum

Manusia sebagai animal educandum  
A.     Pendidikan Hanya Untuk Manusia 
Manusia sebagai animal educandum, secara bahasa berarti bahwa manusia merupakan hewan yang dapat dididik dan harus mendapatkan pendidikan. Dari pengertian tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara manusia dengan hewan, ialah bahwa manusia dapat dididik dan mendapatkan pendidikan.

Manusia tidak dapat disamakan dengan hewan. Manusia dilahirkan sebagai mahluk yang tidak berdaya, yang tidak memiliki insting untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Namun, manusia dapat dididik dalam suatu proses belajar yang membutuhkan waktu lama untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, atau yang dikenal dengan pendidikan.

Hal inilah yang membedakan antara manusia dengan hewan, pada umumnya hewan tidak dapat dididik melainkan hanya dilatih melalui pemberian tekanan-tekanan, artinya latihan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya statis/tidak berubah.

Pada dasarnya terdapat dua alasan dasar mengapa manusia itu harus dididik/mendidik. Alasan pertama adalah dasar biologis dan alasan kedua adalah dasar sosio-antropologis. Dasar biologis mengemukakan bahwa manusia lahir dengan kondisi yang tidak dilengkapi dengan insting sempurna untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya, manusia perlu masa belajar yang panjang sebagai persiapan bersaing dalam lingkungan, serta pendidikan itu dimulai ketika manusia sudah mencapai penyesuaian jasmani.

Dasar biologis ini memberikan implikasi manusia memerlukan bantuan manusia dewasa untuk memberikan perlindungan dan perawatan sebagai masa persiapan pendidikan, serta manusia dewasa yang tidak berhasil dididik perlu melakukan reedukasi. Dasar sosio-antropologis mengemukakan bahwa peradaban tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan dimiliki oleh setiap anggota masyarakat. Dasar ini memberikan implikasi terhadapa keharusan dalam pendidikan, yaitu diperlukan transformasi dari organisme biologis ke organisme berbudaya, diperlukan juga transmisi dan internalisasi budaya.

Selanjutnya, juga terdapat dua alasan dasar mengapa manusia itu dapat dididik/mendidik. Menurut dasar biologis anak dilahirkan tidak berdaya tetapi mempunyai potensi untuk berubah, dasar inilah yang memberikan implikasi dalam pendidikan  untuk dapat mendidik anak.

Dasar psiko-sosio-antropologis mengemukakan bahwa keragaman dan kelebihan individu memberikan implikasi terhadap pendidikan, dimana terdapat saling pengauh-mempengaruhi dalam mendidik. Manusia yang memiliki kelebihan dapat memberi bantuan kepada manusia lainnya yang membutuhkan.

Melalui pendidikan manusia dapat mengembangkan dirinya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya. Pendidikan mengenalkan manusia pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain, melalui pendidikan manusia dapat mengoptimalkan potensi yang ada dalam dirinya.

Hakikat pendidikan bukan terletak pada perbaikan keterampilan seperti pada hewan, melainkan kita mendidik anak sehingga kepribadiannya merupakan integritas, merupakan kesatuan jasmani rohani, dan dapat berperilaku yang bertanggung jawab. Kemampuan bertanggungjawab memerlukan kemampuan memilih nilai-nilai, khususnya nilai kesusilaan, nilai religi, sehingga dapat berbuah kebaikan. 

1.     Mengapa Manusia Harus Dididik 
Bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya serta tidak dilengkapi dengan insting yang sempurna untuk menyesuaikan diri dalam menghadapi lingkungan, perlu masa belajar yang panjang dan awal pendidikan terjadi setelah anak manusia mencapai penyesuaian jasmani. Implikasinya anak manusia harus menerima bantuan, perlindungan dan perawatan, dan diperlukan pendidikan kembali atau reedukasi. 

Berdasarkan pada aspek  Sosio Antropologis, bahwa peradaban tidak terjadi dengan sendirinya dan masyarakat menginginkan kehidupan yang berada.Implikasinya pendidikan memerlukan personalisasi peranan sosial budaya dalam rangka transmisi budaya, internalisasi budaya untuk transformasi dari organisme biologis ke organisme yang berbudaya.

Menurut keyakinan kita, sejarah pembentukan masyarakat dimulai dari keluarga adam dan hawa sebagai unit terkecil dari masyarakat dimuka bumi ini. Dalam keluarga tersebut telah dimulai proses kependidikan umat manusia, meskipun dalam ruangh lingkup terbatas sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Dasar minimal usaha mempertahankan hidup manusia terletak pada tiga orientasi hubungan manusia, yaitu 

a. Hubungan manusia dengan Tuhan YME 
b. Hubungan manusia dengan sesama manusia. 
c. Hubungan manusia dengan alam sekitar.

Dari prinsip hubungan inilah, kemudian manusia mengembangkan proses pertumbuhan kebudayaan, proses inilah yang mendorong manusia ke arah kemajuan hidup sejalan dengan tuntutan zaman. Untuk sampai kepada kebutuhan tersebut, diperlukan satu pendidikan yang dapat mengembangkan kehidupan manusia dalam dimensi daya cipta, rasa dan karsa masyarakat beserta anggota anggotanmya. Ketiga daya tersebut, kakan menjadi motivasi bagi manusia untuk saling berpacu, sehingga keberadaannya pendidikan akan menjadi semakin penting, bahkan pendidikan merupakan kunci utama kemajuan hidup umat manusia dalam segala aspek. 

Pandangan Pendidikan Tentang Manusia sebagai Animal Educandum ialah pandangan Pendidikan tentang Hakekat manusia sebagai makhluk yang secara biologis fisik atau jasmaniah tidak jauh beda dengan hewan, tetapi dapat membedakan dirinya dengan hewan dengan melakukan usaha yang bersifat pendidikan. Berdasarkan pandangan tersebut, manusia akan berasumsi pada ketentuan ketentuan berikut yaitu Keharusan Pendidikan : Mengapa Manusia Harus Di Didik / Mendidik ? 

Manusia adalah subjek pendidikan dan sekaligus pula sebagai objek pendidikan, subagai subjek pendidikan manusia (khususnya manusi dewasa) bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pendidikan secara moral berkewajiban atas perkembangan pribadi anak anak mereka, generasi penerus, manusia dewasa yang berfungsi sebagai pendidik bertanggung jawab untk melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan nilai nilai yang dikehendaki manusia dimana pendidikan berlangsung. Sebagai objek pendidikan, manusia (khususnya anak) merupakan sasaran pembinaan dalam melaksanakan pendidikan, yang pada hakekatnya ia memilki pribadi yang sama seperti manusia dewasa, namun Karena kodratnya belum berkembang (Sadullah, 2001: 80).

Proses pendidikan merupakan interaksi pluralistis antara manusia dengan manusia, dengan lingkungan alamiah, social dan cultural akan sangat ditentukan oleh aspek manusianya. Kedudukan manusi sebagai subjek dalam masyarakat dan di alam semesta ini memiliki tanggung jawab besar dalam mengemban amanat untuk membina dan mengembangkan manusia sesamanya. Memelihara lingkungan hidup bersama lebih jauh manuis bertanggung jawab atas martabat kemanusiaanya. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar mengapa manusia harus dididik dan memperoleh pendidikan, yaitu : 

a. Manusia dilahirkan dalam kedaan tidak berdaya, manusia begitu lahir ke dunia perlu mendapatkan uluran orang lain untuk dapat melangsungkan hidup dan kehidupanya. 

b. Manusia lahir tidak langsung dewasa, untuk sampai pada kedewasaan yang merupakan tujuan pendidikan dalam arti khusus memerlukan waktu lama. Pada manusia primitif mungkin proses pencapaian kedewasaaan tersebut akan lebih pendek dibandingkan dengan manusia modern dewasa ini, pada manuisia primitif cukup dengan mencapai kedewasaan secara konvensional, dimana apabila seseorang sudah memiliki ketrampilan untuk hidup khususnya untuk hidup berkeluarga, seperti dapat berburu, dapat bercocok tanam, mengenal norma norma, atau norma norma hidup bermasyarakat, sudah dapat dikatakan dewasa, dilihat dari segi usia misalnya, usia 12-15 tahun pada masyarakat primitif sudah melangsungkan hidup berkeluarga, pada masyarakat modern tuntutan kedewasaan lebih komplek, sesuai dengan makin kompleknya ilmu pengetahuan dan teknologi, dan juga makin kompleknya system nilai. 

c. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk social, ia tidak akan berprilaku manusia seandainya tidak hidup bersama dengan manusia lainnya. Lain halnya dengan hewan, dimanapun hewan dibesarkan akan tetap memiliki perilaku hewan, seekor kucing yang dibesarkan dalam lingkungan anjing akan tetap berprilaku kucing, tidak akan berperilaku anjing. Karena setiap jenis hewan sudah dilengkapi dengan insting tertentu yang pasti dan seragam, yang berbeda antara jenis hewan yang satu dengan yang lainnya.

Dari asumsi-asumsi tersebut diatas , maka dapat diketahui bahwa manusia merupakan makhluk yang harus dididik dan mendidik. Pendidikan akan dapat membantu manusia untuk merealisasikan dirinya, memanusiakan manusia. Pendidikan akan berusaha membantu manusia untuk menyingkapkan dan menemui rahasia alam, mengembangkan  fitrah manusia yang merupakan potensi untuk berkembang, mengarahkan kecenderungan dan membimbingnya demi kebaikan dirinya dan masyarakat. Pada akhirnya dengan pertolongan dan bimbingan tadi, manusia akan menjadi manusia yang sebenarnya, manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 

2.  Manusia sebagai Makhluk yang Dapat Dididik 
 Memperhatikan situasi manusia seperti itu, muncul pertanyaan pada kita tentang apa sebenarnya manusia itu. Langeveld ( Sadulloh, 2010) merumuskan manusia sebagai “animal educandum”, manusia yang perlu dididik, agar ia dapat melaksanakan kehidupannya sebagai manusia, agar ia dapat melaksanakan tugas hidupnya secara mandiri. Secara implisit, rumusan ini mencakup pula pandangan bahwa manusia itu adalah “hewan” yang dididik.

Pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan, kegiatan yang khas, kegiatan yang istimewa. Keistimewaannya terletak diantaranya dalam hal, bahwa yang menjadi obyek kegiatannya adalah tidak begitu saja “menerima” apa yang dididikkan kepadanya; suatu kegiatan yang keberhasilannya tercapai tidak semata-mata karena kegiatan itu sendiri, melainkan dengan kerjasama antara pendidik dengan obyek yang dididik. Mungkin timbul pertanyaan bagaimana pendidikan dapat berlangsung, bagaimana anak dapat dididik,dan bagaiamana arah pendidikan itu sendiri.

Dalam menentukan batas batas pendidikan manusia akan mengalami persoalan, mereka akan menemui   beberapa pertanyaan tentang kapan pendidikan dimulai dan bila mana pendidikan akan berakhir. Pernah kita temukan satu istilah dalam bahasa inggris yang menyataka “Long live education” yang artinya  “pendidikan seumur hidup”
Dari pernyataan pernyatan tersebut tergambarkan jelas bahwa pendidikan akan dimulai segera setelah anak lahir dan akan berlangsung terus sampai manusia meninggal dunia, sepanjang ia mampu menerima pengaruh pengaruh, oleh karena itu pendidikan akan berlangsung seumur hidup.

Namun dalam mengalami proses pendidikan menusia akan mendapatkan pendidikan dimana akan terdapat pembatasan nyata dari proses pendidikan dalam jangka waktu tertentu (Daradjat, 2000:48 ). 

a.  Kapan pendidikan itu dimulai ?
Pendidikan dimulai dengan pemeliharaan yang merupakan persiapan ke arah pendidikan nyata, yaitu pada minggu dan bulan pertama seorang anak dilahirkan, sedangkan pendidikan yang sesungguhnya baru terjadi kemudian. Pendidikan dalam bentuk pemeliharaan adalah bersifat murni, sebab pada pendidikan murni diperlukan adanya kesadaran mental dari si terdidik. Dari segi psikologis usia 3 – 4 tahun dikenal sebagai masa berkembang, atau masa krisis, dari segi pendidikan justru pada masa itu terbuka peluang ketidakpatuhan yang sekaligus merupkan landasan untuk menegakkan kepatuhan yang sesungguhnya. Disini pulalah mulai terbuka penyelenggaraan pendidikan artinya sentuhan sentuhan pendidikan untuk menumbuhkembangkan motivasi anak dalam perilakunya ke arah tujuan pendidikan. 

b. Bilamana pendidikan itu berakhir ?
Sebagaimana sulitnya menetapkan kapan sesungguhnya pendidikan anak berlangsung untuk pertama kalinya, begitu pulalah sulitnya menentuka kapan pendidikan itu berlangsung untuk terakhir kalinya. Sehubungan dengan itu, perlu suatu kehati hatian kalau juga ingin mengatakan bahwa sepanjang tatanan yang berlaku, proses pendidikan itu mempunyai titik akhir yang bersifat alamiah. Titik akhir bersifat prinsipel  dan tercapai bila seseorang manusia muda itu dapat berdiri sendiri dan secara mantap mengembangkan serta melaksanakan rencana sesuai pandanagan hidupnya.pada kondisi yang disebutkan di atas pendidikan sudah tidak menjadi masalah lagi, ia telah dapat mendidik dirinya sendiri, tetapi tidaklah dapat disangkal bahwa mungkin juga diperlukan untuk tetap menerima ajaran dalam bidang bidang tertentu dalam memajukan kehidupanya, bantuan pendidikan yang demikian itu disebut pembentukan manusia dewasa”.

Inti dari kegiatan pendidikan adalah pemberian bantuan kepada anak dalam rangka mencapai kedewasaannya. Pemberian bantuan itu mengimplikasikan : 

a. Bahwa yang dibantu adalah seseorang yang memiliki aktivitas. Aktivitas yang direalisasikannya, hendaknya tidak bertentangan dengan proses dan arah kegiatan yang bersangkutan. Jadi aktivitas dan kreativitas anak didik yang sejalan dengan proses dan arah pendidikan denan kata lain kerjasama antara pendidik dan anak didik dimana pendidik memperkuat kedudukan anak manusia sebagai makhluk yang dapat dididik. 

b. Pencapaian kemandirian harus dimulai dengan menerima realita tentang ketergantungan anak mencakup kemampuan untuk beridentifikasi, bekerja sama dan meniru pendidiknya. 

c. Tidak semua orang mampu melaksanakan kehidupan sebagai orang dewasa yang berarti terdapat peralihan dari status bayi, aanak, sampai deawa itu tidak berlangsung dengan sendirinya. Artinya manusia mendapat pengaruh-pengaru dari luar. 

d. Manusia adalah makhluk yang dapat dididik berdasar pada empat pandangan dasar antropologis yaitu : 
1) Prinsip Individualitas 
2) Prinsip Sosialitas 
3) Prinsip Moralitas 
4) Prinsip Uniksitas 

B. Anak Manusia dalam Kondisi Perlu Bantuan 
Anak manusia untuk bisa menjadi manusia yang mandiri, membutuhkan suatu proses yang lama dan tidak akan dengan sendirinya tanpa bantuan orang lain untuk mencapainya. Karena itu anak manusia memerlukan bantuan orang lain yang berada disekitarnya. Dirumah ia membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya, diluar rumah ia akan bergaul dengan teman sebayanya, yang pasti akan saling mengisi berbagai pengalamannya.

Apabila sang anak sudah bersekolah, ia akan sangat membutuhkan bantuan pendidiknya, yaittu gurunya yang melakukan tugasnya secaara profesional, dan tanggung jawab yang sangat dalam. Guru di sekolah merupakan pihak yang mewakili para orang tua anak.

Manusia pada saat lahir tidak langsung dapat mengembangkan kemanusiaannya, karena ketidakberdayaan dan kelemahannya yang ia miliki secara kodrati memerlukan uluran pihak luar untuk membantunya. Namun secara kodrati pula anak dilahirkan dengan potensi untuk berkembang menuju kemandirian. Potensi inilah yaang perlu dipahami oleh pihak luar khususnya orang tua sehingga potensi tersebut dapat berkembang secara optimal. 

1.  Manusia Lahir Tidak Berdaya 
a. Manusia Memiliki Kelebihan
Manusia seringkali dibandingkan dengan hewan, pada umumnya dalam membandingkan itu ditunjukkan dari kelebihan martabat dan kehidupan manusia diatas hewan. Kehidupan manusia dewasa ini ssungguh luar biasa pesatnya, sehingga jarak antara kehidupan hewan dengan kehidupan manusiawi rasanya bukan untuk dibandingkan. 

b. Manusia Belum Dapat Menolong Dirinya Sendiri
Manusia dilahirkan dalam keadaan belum dapat menolong dirinya sendiri, juga dalam hal-hal yaang sangat penting bagi kelangsungan hidupnya. Dengan kata lain “manusia berada dalam keadaaan perlu bantuan”, dan bantuan harus datang dari pihak lain. Tanpa bantuan dari pihak lain, manusia tidak mungkin melangsungkan hidupnya. Bantuan tersebut tidak saja bagi kehidupan fisiknya, namun juga bagi kehidupan psikisnya dan kehidupan sosialnya. 

c.  Manusia Dilahirkan dalam Lingkungan Manusiawi
Manusia dilahirkan dalam lingkungan manusiawi yang bertanggung jawab, yang berperasaan, bermoral, dan yaang sosial. Keadaan anak manusia yang perlu bantuan itu menggugah dan mengundang kasih sayang bagi orang dewasa khususnya  kepada orang dewasa khususnya orang tuanya. Ketergantungan anak diimbangi dengan kesediaan orang tua, guru untuk membimbingnya. Proses saling mengisi dan saling mengimbangi ini tidak dirasakan sebagai suatu yang sulit dan rumit, melainkan justru dirasakan merupakan suatu karunia yang megikat dan memperdalam hubungan kedua pihak. 

2. Dunia Manusia sebagai Dunia Terbuka 
a.  Manusia Belum Siap Menghadapi Kehidupan
Anak manusia dilahirkan dalam keadaan belum siap menghadapi kehidupan. Karena belum siap dan belum terspesialisasi itu, ia harus mempersiapkan diri dan mendapatkan suatu cara yang khas bagi dia dalam melaksanakan kehidupan dan tugas hidupnya itu. Manusia harus menentukan cara dan corak, arak dan tujuan hidupnya, bahkan makna hidup baginya yang tidak disdorkan alam secara ready to wear. 
b. Manusia Mampu Menggunakan Alat
Melalui anggota tubuhnya manusia menemukan kemungkinan dan kemampuannya untuk menggunakan alat. Kemampuan ini membuka corak dan dimensi yang secara prinsipil berlainan dengan hewan. Dalam hal ini semua tersirat dengan adanya : 
1)     Inisiatif dan daya kreasi manusia 
2)     Kemampuan manusia untuk merealisasikan dirinya 
3)     Kesadaran manusia akan lingkungan 
4)     Keterarahan hidup manusia kepada lingkungan 
5)     Kesadaran manusia akan tugasnya dalam lingkungan hidupnya 
c.       Manusia sebagai Makhluk yang Perlu Dididik
Dengan menggunakan peristilahan dari Bloom, masalah nilai-nilai kemanusiaan tidak hanya bergerak di bidang kognitif dan psikomotor, akan tetapi juga dalam perealisasiannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab harus sampai menjangkau bidang afektif, atau kalau digunakan peristilahan dengan “pengajaran” saja belum cukup untuk mrmbut seseorang bertindak susila. Untuk itu perlu “pendidikan” yang diartikan mencakup keseluruhan pribadi manusia, mencakup pengetahuan, nilai, keterampilan, emosi, dan spritual. 

C. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Manusia dan Aliran-Aliran Pendidikan 
1.     Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Manusia 
Anak manusia sejak dilahirkan berkembang terus sampai mati. Perkembangan anak manusia itu meliputi perkembangan fisik dan rohani. Perkembangan berlangsung secara teratur dan terarah menuju kedewasaannya. Tugas pendidikan membimbing anak agar perkembangannya berlangsung secara wajar dan normal. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, adalah : 

a. Faktor Hereditas
Anak memiliki warisan sifat-sifat bawaan yang berasal dari kedua orang tuanya, merupakan potensi tertentu sudah terbentuk dan sukar diubah. Menurut H.C. Wittherington hereditas adalah proses penurunan sifat-sifat tertentu dari suatu generasi ke generasi lain dengan perantaraan sel benih. Pada dasarnya yang diturunkan itu adalah struktur tubuh. Beberapa ciri atau sifat orang tua yang kemungkinan dapat diturunkan, misalnya warna kulit, intelegensi, bentuk fisik seperti bentuk mata, hidung,suara berhubungan dengan struktur selaput suara dan lain sebagainya. 

b. Faktor Lingkungan
Lingkungan di sekitar manusia dapat digolongkan kepada dua jenis lingkungan yaitu lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Lingkungan abiotik adalah lingkungan makhluk tidak bernyawa seperti batu, air, dan hujan, tanah, musim yang disebabkan iklim karena peredaran matahari, dan sebagainya. lingkungan biotik adalah lingkungan mahluk hidup yang bernyawa terdiri dari tiga jenis, yaitu ; lingkungan nabati atau lingkungan tumbuhan, lingkungan hewani, dan lingkungan manusia, yaitu kehidupan manusia termasuk sosial, budaya dan spiritual. 

1) Lingkungan sosial, mencakup bentuk hubungan , sikap atau tingkah laku antar manusia, dan hubungannya antar manusia dengan manusia disekitar anak. 
2) Lingkungan budaya, dapat berupa bahasa, karya seni, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan norma-norma atau peraturan – peraturan yang berlaku dalam pergaulan di masyarakat sekitar anak. 
3) Lingkungan spiritual, berupa agama, keyakinan, dan ide-ide yang muncul dalam masyrakat disekitar anak. 

c. Faktor Diri
Guru harus memahami faktor diri yang merupakan faktor kejiwaan kehidupan seorang anak. Faktor-faktor ini dapat berupa perasaan (emosi), dorongan untuk berbuat (motivasi), intelegensi, sikap, kemampuan berkomunikasi, dan sebagainya. Hal ini juga akan berpengaruh dalam tindakan anak sehari-hari. Beberapa ciri perkembangan kejiwaan anak dikemukakan oleh Abu Ahmad ( 2001_ 220-221 ), sebagai berikut :

1) Ciri Perkembangan Kejiwaan Anak TK  
a) Kemampuan melayani kebutuhan fisik secara sederhana telah mulai berubah. 
b)  Mulai mengenal kehidupan sosial dan pola sosial yang berlaku dan dilakukannya. 
c)  Menyadari dirinya berbeda dengan anak yang lainyang mempunyai keinginan dan perasaan tertentu. 
d) Masih tergantung dari orang lain, dan memerlukan perlindungan orang lain. 
e) Belum dapat membedakan antara yang nyata dan yang khayal.
2). Ciri-ciri Perkembangan Kejiwaan Anak SD 
a)     Pertumbuhan fisik dan motorik maju pesat. 
b)     Kehidupan sosial diperkaya dengan kemampuan bekerja sama dan bersaing dalam kehidupan berkelompok. 
c)      Mempunyai kemampuan memahami sebab akibat 
d)     Dalam kegiatan – kegiatannya belum membedakan jenis kelamin, dan dasar yang digunakan adalah kemampuan dan pengalaman yang sama.
3). Ciri-ciri Perkembangan kejiwaan Anak SMP 
a)     Mulai mampu memahami hal-hal yang abstrak ( khayal) 
b)     Mampu bertukar pendapat dengan orang lain 
c)      Tumbuh minat memahami diri sendiri dan diri orang lain 
d)     Tumbuh pengertian tentang konsep norma dan social 
e)     Mampu membuat keputusan sendiri 

2. Aliran-Aliran Pendidikan 
Aliran- aliran pendidikan adalah pemikiran – pemikiran yang membawa pembaharuan dalam dunia pendidikan.Pemikiran tersebut berlangsung seperti suatu diskusi berkepanjangan, yakni pemikiran – pemikiran orang terdahulu selalu ditanggapi dengan pro dan kontra oleh pemikir berikutnya.Sehingga timbul pemikiran yang baru, dan demikian seterusnya.

Aliran-aliran yang meliputi aliran-aliran empirisme, nativisme, naturalisme, dan konvergensi merupakan benang-benang merah yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pendidikan masa lalu, kini, dan mungkin yang akan datang. Aliran-aliran itu mewakili berbagai variasi pendapat tentang pendidikan, mulai dari yang pesimis yang memandang bahwa pendidikan kurang bermanfaat bahkan merusak bakat yang telah dimiliki anak sampai dengan yang optimis yang memandang bahwa anak seakan-akan tanah liat yang dapat dibentuk sesuka hati.

Aliran-aliran itu pada umumnya mengemukakan satu faktor dominan tertentu saja,dan dengan demikian, suatu aliran dalam pendidikan akan mengajukan gagasan untuk mengoptimalkan faktor tersebut untuk mengembangkan manusia. 

a. Aliran Empirisme 
Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Tokoh perintis ini adalah seorang filsuf Inggris bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”, yakni anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih. Menurut pandangan empirisme pendidik memegang peranan yang sangat penting sebab pendidik dapat menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak dan akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman  yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Aliran empirisme dipandang berat sebelah sebab hanya mementingkan peranan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dianggap tidak menentukan, menurut kenyataan dalam kehidupa sehari-hari terdapat anak yang berhasil karena berbakat, meskipun lingkungan sekitarnya tidak mendukung. Penganut aliran ini masih tampak pada pendapat-pendapat yang memandang manusia sebagai makhluk pasif dan dapat dimanipulasi, umpama melalui modifikasi tingkah laku. 

b. Aliran Nativisme 
Aliran nativisme bertolak dari Leibnitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Schopenhauer berpendapat bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir dan wataknya tidak bisa dipengaruhi oleh lingkungan. Berdasarkan pandangan ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Istilah nativisme dari asala kata natie yang artinya adalah terlahir. Terdapat satu pokok pendapat aliran nativisme yang berpengaruh luas yakni bahwa dalam diri individu terdapat satu inti pribadi yang mendorong manusia untuk mewujudkan diri, mendorong manusia dalam menentukan pilihan dan kemauan sendiri, dan yang menempatkan manusia sebagai makhluk aktif yang mempunyai kemauan bebas. 

c. Aliran Naturalisme 
Pandangan yang ada persamaannya dengan nativisme adalah aliran naturalisme yang dipelopori oleh seorang filsuf Prancis J.J. Rousseau (1712-1778). Rousseau berpendapat bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunya pembawaan buruk. Aliran ini juga disebut negativisme, karena berpendapat bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam. Jadi dengan kata lain pendidikan tidak diperlukan. J.J. Rousseau ingin menjauhkan anak dari segala keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat (artificial) sehingga kebaikan anak-anak yang diperoleh secara alamiyah sejak kelahirannya itu tampak secara spontan dan bebas. Seperti diketahui, gagasan naturalisme yang menolak campur tangan pendidikan, sampai saat ini tidak terbukti malahan terbukti sebaliknya: pendidikan makin lama makin diperlukan. 

d. Aliran Konvergensi 
Perintis aliran ini adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk. penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang tanpa adanya lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk mengembangkan itu. William Stern berpendapat bahwa hasil pendidikan itu tergantung dari pembawaan dan lingkungan, seakan-akan dua garis yang menuju ke satu titik pertemuan. 

DAFTAR PUSTAKA 

Kadir Abdul, 2008. Dasar – dasar  Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Sadulloh, Uyoh. 2010. Pedagogik ( Ilmu Mendidik ). Bandung : Alfabeta
Mudyahardjo, Redja. 2001. Pengantar Pendidikan.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
#Manusia sebagai animal educandum
#alasan manusia sebagai animal educandum 

0 Response to "Manusia sebagai animal educandum"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close